Karena hidup tidak hanya menarik nafas, tetapi juga menarik makna di balik fakta...

.

Tuesday, May 17, 2011

Baju Hitam, Bendera Kuning















Melintasi Jalan Panjang, berpacu melebihi kecepatan normal
Menjadi yang paling depan
Membuka jalan untuk Yang Terakhir, menutup jalan bagi Yang Menuju Terakhir
Menuju TPU Joglo..

Baju hitam, bendera kuning…

Di balik jaket yang dikenakan, ada kaos hitam yang saya pakai.
Di balik genggaman tangan, ada bendera kuning saya kibarkan.

Baju hitam, bendera kuning…

Sabtu malam (14/5), saya mendapat broadcast message kabar dukacita ayah teman SMP saya meninggal. Kemudian semua berjalan begitu cepat hingga saya tidak ingat detilnya. Teman dekat saya yang lain menjemput, kemudian tibalah saya di rumah teman saya itu. Banyak tangisan, banyak teriakan. Rintihan yang membuat saya ingin menangis 

Beberapa kali saya dan teman saya itu nongkrong bersama dengan teman-teman yang lain. Keabisan ide mau kemana, kami pun memilih Kota Tua, Monas dan Taman Menteng. Nongkrong-nongkrong, makan-makan hingga subuh. Kami lumayan dekat, keluarga kami saling kenal. Dia salah satu teman yang tahu bagaimana transformasi bentuk tubuh saya. Dari yang dulu membulat hingga sekarang… membundar!!

Setelah berdoa Rosario dan ibadat sabda, semua teman SMP saya berkumpul mengelilinginya. Ada 7 orang di antara kami dan hanya saya yang wanita. Berpelukan, memegang tangannya, membelai bahunya. Bingung harus berkata apa 
Ayahnya meninggal di pesawat ketika sedang terbang ke Solo bersama ibunya. Mereka berencana menjenguk orang tua mereka yang juga sudah mulai sakit-sakitan dan rindu ingin melihat anaknya. Jantung ayahnya memang sudah mulai melemah dan sering bolak-balik ke rumah sakit, tampaknya pun sudah tak cukup kuat melakukan penerbangan pesawat. “Yang paling sedih gue liat, dia itu kalo tidur malem-malem harus ngadep ke bawah, liat dinding. Kalo nggak, yah nggak bisa tidur, sesak katanya. Kalo siang baik-baik ajah malah. Biasanya nggak gituh, dulu sebelum kerja di pabrik yang sekarang, justru siangnya sesak terus, malemnya bisa tidur.” Suara pelan teman saya yang sayup-sayup mulai tak terdengar akhir kalimatnya.

Semua teman saya pun berkata “lo sekarang kepala keluarga ris. Harus kuat. Inget kepala keluarga!“ Ehm.. baru kali ini saya mendengar pembicaraan antar pria yang serius. Mungkin kalau saya yang diberitahu seperti itu, tangis saya akan lebih kencang. Lain dengan teman saya yang justru menarik napas dalam dan menghapus air matanya. Tanggung jawab seorang lelaki.

Adiknya perempuan yang nomor dua justru terlihat sebaliknya, dia berdiri tegak denan mata bengkak menerima bela sungkawa. Meski umurnya masih sekitar 20 tahun. Terlihat sekali ia paling tegar. Sedangkan adik perempuan yang ketiga dan juga paling kecil sangat terpukul, ia berteriak ‘mau ikut papa’ berulang kali. Kira-kira usianya 17 tahun. Maklum hari itu tepat dia berulang tahun 

Masih segar, bersenda gurau, makan-makan merayakan adiknya berulang tahun sebelum ayahnya benar-benar ‘mengudara’. Teman saya sendiri yang mengantar ke bandara. Sedih rasanya.

Hingga jam 2 pagi, kami masih bersama hingga kami semua pamit pulang dan berjanji besok akan ke sana lagi sebelum jenazah datang dari Solo. Namun salah satu dari kami tetap tinggal menginap di rumahnya. Sempat teman SMP saya itu mengajak main capza (yang terus saya bales dengan kata ‘sableng’). Semakin banyak saudara yang datang. Semakin banyak rintihan.

Baju hitam, bendera kuning..

Dan di sinilah saya, di Jalan Panjang, dibonceng salah satu teman saya menuju ke TPU Joglo. Berusaha mengalahkan motor-motor lain untuk menjadi yang terdepan agar jalan terbuka untuk ambulans yang membawa jenazah. Melambai-lambaikan bendera kuning agar diberi jalan, menunggu 5 mobil pribadi dan 4 metromini agar juga diberi jalan. Sekitar 40an sepeda motor ikut menemani di depan, belakang dan samping iring-iringan. Almarhum dikenal orang yang sangat baik di lingkungannya. Setelah iring-iringan melewati kami, motor pun mengebut liar terus membuka jalan agar Yang Terakhir mendapat jalan yang lapang untuk beistirahat.

Baju hitam, bendera kuning..

Gerimis di hari yang terik. Mengikuti proses pemakaman. Menyanyikan lagu gereja yang menyiratkan ia telah ‘hidup’ bersamaNya. Melihat istri dan anak-anaknya almarhum menangis dan menebar bunga di tanah merah yang lembek. Kuburan-kuburan yang sudah ada bertahun-tahun yang lalu diinjak-injak. Merinding melihat teman saya berlutut di bawah nisan ayahnya seselesai prosesi terakhir. Bergantian teman-teman saya memeluknya dan memegang ibunya takut-takut pingsan. Hari itu pun saya menangis.

Baju hitam, bendera kuning..

Silih berganti orang-orang berkata ‘papa sudah tidak ada sekarang yah.’ Kepada adik yang paling kecil

Baju hitam, bendera kuning..

Memohon diberi kesempatan lebih banyak untuk membahagiakan orangtua dan membuat mereka bangga

Baju hitam, bendera kuning..

Doa saya menyertai kepergian beliau..

Novie
17/5/2011

0 comments:

Post a Comment