Karena hidup tidak hanya menarik nafas, tetapi juga menarik makna di balik fakta...

.

Monday, January 24, 2011

Persimpangan jalan



Ada anak kecil di seberang jalan. Dia berdiri di garis hitam-putih bersiap-siap akan menyebrang jalan. Kakinya persis menginjak garis putih di pinggir jalan. Dia sedang kebingungan sekarang. Apakah ia tetap di tempatnya, menunggu semua pejalan kaki ikut menyeberang agar ia tetapi selamat, atau ia menyeberang sendiri karena baginya jalan itu sudah aman untuk diseberangi.

Di tengah kebingungannya, ia melihat lampu hijau menyala. Okeh, saatnya saya menyebrang, pikirnya. Mobil sudah tidak ada yang melewatinya, jalan aman, awan cerah bersinar. Okeh, saatnya saya menyebrangi jalan. Tetapi ketika ia akan menyebrang, ia melihat ke kanan kirinya. Ia kembali bingung kenapa tidak ada orang yang menyeberang juga.

Ketika itu, di pinggir jalan, ia bersama teman-te man sekolahnya. Masih dengan seragam sekolah bersama teman-temannya, ia berniat membeli es krim di seberang jalan. Entah kenapa hari itu ia sangat lapar. Rasanya ia mau menelan 2 es krim sekaligus. Ia sudah mencoba es krim di jalan itu dan ia penasaran dengan es krim di sebrang jalan. Maka, ia dan teman-temannya pun bersama-sama di ujung jalan bersiap-siap menyeberang.

Hingga lampu masih berwarna hijau, tidak ada satupun yang beranjak dari tempat.mereka berdiri. Semua masih sibuk. Ada yang mengobrol, ada yang sedang sibuk dengan barang bawaannya yang banyak, ada yang santai bersandar di tiang listrik.

Okeh, saatnya saya menyebrang sekarang. Es krim di sini enak tapi saya yakin di seberang jalan mungkin punya es krim yang lebih enak, pikirnya kembali. Baginya es krim itu enak tapi tidak cukup enak memuaskan hasratnya. Es krim itu nikmat apalagi ketika dimakan bersama-sama temannya. Tetapi dia merasa cokelat, rasa favoritnya, itu tidak disajikan dengan sangat baik. Harga yang harus ia bayar tak sesuai dengan rasa cokelat yang ia inginkan. Awalnya ia berpikir, mungkin karena ini pertama kali ia memakan es krim, cokelat ini mungkin yang terbaik. Tetapi bagaimana ia bisa tahu rasa cokelat dio es krim lain yang mungkin bisa lebih enak? Atau justru lebih pahit?

Berpikir lama, masih di tempatnya, kemudian ia berpikir bahwa tidak ada salahnya ia mencoba, toh ia sudah punya perut setangah kenyang. Ketika ia menyeberang mendadak tangannya digemggam erat oleh salah satu temannya.

Kata temannya, ”sebentar, aku takut menyebrang sendiri. Sebentar lagi lampu pasti berubah lagi. Nanti kita ketabrak. Kita tunggu saja sampai lampu itu berwarna hijau lagi.”

Okeh, saya lewatkan lampu hijau itu hingga ia berubah warna menjadi merah lagi. Tunggu punya tunggu. Lampu kembali berwarna hijau. Ketika saya mau menyeberang, teman yang lain menatap saya dan berkata...

”Tunggu dulu, kamu yakin mau ke sana, perut kamu kan sudah kenyang di sini. Buat apa ke tempat es krim lain. Tunggu sampai perut kita lapar lagi yuk.”

Okeh, saya lewatkan lampu hijau itu. Kembali terdiam sambil terus menunggu lampu berubah menjadi merah lagi. Teman yang lain memegang bahunya dan kemudian berkata ”Gimana kalau rasa es krim itu nggak enak? Gimana kalau tenyata lebih mahal harganya? Gimana kalau kamu sudah menyebrang, sampai di tempatnya. Ternyata tukang es krim sedang tidak berjualan. Kamu kan rugi.”

......


Masih di tempatnya berdiri, tetap melihat lampu hijau menyala terang di tempatnya, matanya pun beralih melihat ujung jalan tempat yang ia tuju di sana. Kabur memang, tidak terlihat begitu jelas bagaimana pertokoan dan pemukiman di sana. Maklum ia hanya berjalan di ruas jalan yang sama dan memakan es krim yang sama setiap hari. Hingga ia tahu hafal berbagai lubang di jalan itu, berbagai perbaikan jalan yang belum juga tuntas, dan berbagai pejalan kaki yang ia temui setiap hati ketika ia melewati ruas jalan tersebut. Ia merasa ia harus menjelajah ke ruas jalan lain. Jalan ini sudah terlalu sering ia lewati sehingga saatnya ia pindah ke ruas jalan lain dan menikmati es krim lain. Jalannya tidak semakin kecil ketika ia beranjak dewasa dan es krim nya pun semakin lama semakin menurun kualitasnya sehingga perlu ia pindah ke jalan lain dan mencoba es krim di sana.

Ia merasa saatnya ia menyebrang sekarang. Bukan ia tidak ingin menyebrang dengan teman-temannya yang lain tetapi perutnya sudah kembali sangat lapar. Ia ingin mencoba es krim di tempat lain. Lampu hijau sudah menyala terang sekarang. Perutnya sangatlah lapar, keinginannya sudah tak terbendung. Ia mau mencoba es krim lain. Agar ia tahu apakah es krim di tempat lain enak atau tidak.

Es krim itu sudah tidak terasa enak di lidahnya. Sangat pahit. Semakin hari semakin pahit. Ia pun sudah tak seantusias ketika awalnya ia baru mau makan es krim itu.

Lampu hijau kembali menyala terang. Saatnya ia untuk menyebrang jalan.

Thursday, January 20, 2011

Batu

Ada batu di sana. Batu besar menghalangi jalan Hampir satu tahun berjalan tetapi batu itu tidak mengecil atau bahkan menghilang. Batu itu justru malah kian membesar. Kubawa batu itu kemana aku pergi, kemana aku bergerak.

Semua orang memiliki batunya sendiri. Ada yang bisa menyembunyikannya di sakunya, ada yang bisa menentengnya. Sepuluh kilo pun hanya terasa beberapa gram saja di tangannya. Tetapi kenapa saya tidak mengindahkan ‘batu’ itu?

Ada apa dengan saya? Ditempa saya sering, dibanting juga tidak sedikit. Tetapi saya tidak pernah belajar menghadapi lingkungan baru sehingga batu itu terus ada dan tampak atau bahkan transparan sehingga semua orang bisa melihat.

Hinaan, cacian, amarah, penolakan sudah saya dapatkan. Tetapi kenapa saya tidak juga pintar menyembunyikan batu itu. Batu itu sekarang sudah memenuhi pikiran, bahu, dan hati saya.

Tidak juga mengecil
Tidak juga hilang
Tidak juga nertambah tingan

Justru semakin besar
Semakin terlihat
Dan semakin banyak

Apa yang salah dalam diri saya?
Apakah saya cukup bodoh, tidak bisa mengeluarkan suara sedikit pun.
Ini hanya palu kecil yangs sedang menempa batu saya, kemudian saya oleng, kehilangan keseimbangan dan goyah.

Saya hanya bisa diam, tidak bisa berpikir, kemudian tidak bisa melakukan apa-apa.

Ada batu di sana, ada ketakutan di sana. Ketakutan itulah yang menjadi batu terbesar. Ketakutan dan beban itu masih ada di sana.


21/1/2011
Novie